Selasa, 26 April 2011

Sikap Hidup Muslim

Sikap hidup pribadi seorang muslim adalah manifestasi imannya. Oleh sebab itu seorang yang benar-benar beriman kepada Allah serta melaksanakan segala perintah-Nya sudah barang tentu pribadinya akan dihiasi dengan cahaya iman itu sendiri. Laku perbuatan dan tata hidupnya sangat terpuji. Orang yang demikian tidak mudah terombang-ambing oleh gemerlapnya kehidupan dunia. Mereka mengenal batas hidupnya, dalam arti tidak mau menceburkan diurinya ke dalam kehancuran. Akan tetapi mereka pun menyadari perlunya berusaha mencari kehidupan dunia sebagai bekal ibadah kepada Allah.

Dalam hal ini Rasulullah Saw pernah bersabda :

I’mal li dunyaka kaannaka ta’isyu abada, wa’mal liakhiratika kaannaka tamutu ghada.

Artinya, “berusahalah untuk urusan dunia seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan berusahalah untuk urusan akhiratmu seolah-olah kau akan mati esok”. (Al-Hadits)

Hadits di atas merupakan anjuran agar setiap muslim giat berusaha, baik untuk urusan dunia maupun akhirat dan tidak dibenarkan berpangku tangan hanya bergantung pada nasib.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:

Ad-dunya mazra’atul akhirah.

Artinya, “kehidupan adalah sebagai ladang persemaian kehidupan akhirat”. (Al-Hadits)

Dari sini jelaslah bahwa hakikat amaliah kita di dunia ini bertalian erat dengan kehidupan kita di akhirat nanti.


Kita menyadari bahwa selama hidup harus kita usahakan, namun kesemuanya harus didasari dengan kesadaran akan kepentingan yang lebih jelas, yakni bekal kehidupan akhirat, sehingga setiap perbuatan yang kita lakukan hendaknya dengan niat ibadah. Sebagai manusia kita pun menyadari, selama akal fikiran masih sehat, banyak hal yang ingin dimiliki. Hal ini pulalah yang menyebabkan keharusan berusaha.

Allah Swt berfirman:

Zuyyina lin nasi hubbus syahawati minan nisa’I wal banina wal qanatiral muqantharati minad dzahabi wal fiddhati wal khailil musawwamati wal an’ami wal hartsi, dzalika mata’ul hayatid dunya wallahu ‘indahu husnul ma’ab.

Artinya, “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini wanita-wanita, kanak-kanak, harta yang banyak dari jenis perak, emas, kuda, pilihan hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan di dunia. Namun di sisi Allah tempat kembali yang baik yaitu (surga)”. (QS. Ali Imran : 14)

Ayat di atas menyatakan secara tegas, bahwa keinginan, kecintaan, dan kecenderungan manusia terhadap kesenangan hidup di dunia adalah merupakan hal yang wajar dan merupakan hal yang diciptakan Allah. Tegasnya kalau ada orang yang mengatakan dia tidak suka dan tidak menghendaki dunia, maka berarti dia bukanlah orang waras. Akan tetapi dalam lanjutan ayat di atas dinyatakan bahwa di antara kesenangan itu maka hanyalah di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik yakni surga.

Dari sanalah titik tolak kepentingan manusia beragama, sebab dalam Islam ditunjukkan antara yang benar dan salah, antara yang harus dikerjakan dan dicegah.

Dalam islam diterangkan pula tata cara berusaha yang lebih lazim disebut Muammalah yakni hubungan antara sesama hamba Allah, dan ibadah yakni hubungan antara hamba dan Allah, Tuhannya.

Apabila kita mengetahui dan menyadari sepenuhnya hakikat ajaran agama, sudah barang tentu akan sangat berhati-hati melangkah dan berbuat. Sebagai contoh kecenderungan kaum pria terhadap wanita adalah wajar. Akan tetapi sampai di mana kita dapat memelihara batas-batas kewajaran itu?

Dengan Islam itulah kita akan dapat membendung hawa nafsu, dan dengan Islam pula kita dapat memelihara batas kewajaran. Karena menurut ajaran Islam, wanita bukanlah barang permainan yang dapat diperbuat sesuka hati oleh kaum pria, bahkan Islam telah menempatkan wanita pada kedudukan yang baik. Sehingga kecintaan terhadap wanita serta kecenderungan untuk memilikinya pun telah diatur dengan baik yaitu melalui tali pernikahan. Allah Swt berfirman:

Wa min ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwajal li taskunu ilaiha wa ja’ala bainakum mawaddataw wa rahmah.

Artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikannya di antara kamu rasa kasih sayang”. (QS. Ar-Rum : 21)

Pengertian ayat di atas adalah bahwa kecintaan terhadap wanita yang dilanjutkan yang dilanjutkan menurut tuntutan agama terutama dalam persoalan yang menyangkut urusan wanita agar kita terhindar dari bujukan syaitan yang akan menjerumuskan kita ke jurang kenistaan dan kehinaan. Hal ini pula yang harus kita tanamkan kepada anak cucu dan generasi penerus kita agar mereka pun mengenal batas-batas pergaulan sehari-hari antara pria dan wanita.


Kecenderungan dan kegandrungan manusia yang lain ialah anak. Allah Swt memberikan hiasan berupa kecintaan terhadap anak, sehingga kita pun berkeinginan untuk memilikinya.

Rasa cinta terhadap anak adalah juga hal yang wajar, bahkan tidak dibenarkan orang tua yang menelantarkan anak, tidak mengurus atau membiarkannya menjadi anak-anak sengsara. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa usaha orang tua mencari nafkah sehari-harii adalah semata-mata untuk mencukupi kebutuhan anak dan keluarga. Semua orang tua mempunyai cita-cita untuk menjadikan anaknya kelak sebagai orang yang baik. Kiranya tidak ada kebahagiaan yang lebih besar yang dirasakan orang tua kecuali keberhasilan mendidik anak-anak sampai mereka menjadi orang yang berhasil di hari tuanya.

Sebaliknya tidak ada kekecewaan yang lebih dalam dirasakan orang tua kecuali merasakan kegagalan dalam mendidik anak, sehingga mereka menjadi anak-anak yang tidak berguna dalam masyarakat karena perilakunya yang tidak baik.

Akan tetapi keberhasilan ataupun kegagalan orang tua dalam mendidik anak janganlah mengurangi kecintaannya terhadap Allah. Tegasnya adalah tidak dibenarkan kecintaan orang tua terhadap anak melebihi kecintaan kepada Allah.

Dalam hal ini Rasulullah bersabda:

La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabbu ilaihi min walidihi wa waladihi wan nasi ajma’in.

Artinya, “Tiada beriman di antara kamu, sehingga kamu melebihi cinta kepada Allah daripada ayahmu, anakmu atau manusia lainnya”. (HR. Bukhari)

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa tiadalah dianggap beriman seseorang sehingga dia lebih mencintai Allah dari ayah anak dan semua manusia. Oleh sebab itu meskipun kita telah berusaha sekuat tenaga mencukupi kebutuhan anak-anak dan keluarga, mendidik mengasuhnya, sebagai kecintaan terhadap mereka, namun kesemua tidak boleh melebihi kecintaan kita terhadap Allah sehingga melupakan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan-Nya.

Sebagai muslim, hendaknya kita mencintai anak, adalah karena semata-mata memelihara amanat Allah, sebab bagaimanapun juga anak-anak yang kita pelihara semua itu hanyalah titipan Allah harus kita penuhi sebaik-baiknya. Sehingga keberhasilan dan kegagalannya tidak akan menggoyahkan iman atau merusak ibadah kita. Itulah perangai terpuji menurut Islam.


Hiasan dunia yang lain ialah cukupnya harta benda yang bermacam-macam bentuknya. Baik emas, perak, kendaraan bahkan binatang ternak atau piaraan. Semua itu membuat kecenderungan kita untuk memilikinya sehingga memaksakan diri kita untuk berusaha meraihnya.

Berusaha mencari harta tentu dibenarkan di dalam Islam sehingga sangat dikhawatirkan kalau ada di antara orang Islam yang hidup melarat, sebab yang demikian dapat mendekatkan kepada kekafiran, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:

Kadal faqru an yakuna kufran.

Artinya, “kefakiran (kemiskinan) akan membuat kekafiran”. (Al-Hadits)

Jelaslah bahwa Islam menghendaki hapusnya kemiskinan dalam arti cukupnya kebutuhan hidup sehari-hari, baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga, sehingga kewajiban-kewajiban Allah dapat dipenuhi dengan baik.

Namun demikian tujuan hidup seorang muslim adalah mencari ridho Allah, sudah barang tentu berusaha dengan cara baik sesuai tuntunan-Nya. Islam telah memberikan pedoman bagi kita dalam usaha mencari harta, baik dengan cara berdagang, bertani. buruh atau lainnya, yang kesemuanya harus kita jalani dengan baik dan benar. Dengan demikian kita harus menghindari cara-cara yang sesat, misalnya menipu, merampas, mencuri, berbohong atau sebangsanya. Karena semua itu tidak dibenarkan oleh Allah.

Tegasnya kecintaan terhadap harta dunia serta kecenderungan untuk memilikinya harus menurut ketentuan Allah yang didasari dengan keyakinan akan kebenaran tuntunannya dan kesadaran dalam melaksanakan.

Dzalika mata’ul hayatid dunya.

Artinya, “Harta itu hanyalah sebagai kesukaan, kesenangan hidup di dunia”. (QS. Ali Imron : 14)


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa iman yang benar akan menumbuhkan amal perbuatan yang baik, sedangkan perbuatan yang baik dalam semua usaha adalah akhlak Islam dan itulah perangai terpuji, yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Akhirnya marilah kita bersama-sama senantiasa berusaha mengikuti jalan yang dikehendaki Allah, dan marilah kita tingkatkan pula keyakinan kita bahwa kecintaan terhadap hal-hal keduniaan semata-mata merupakan hiasan yang telah diciptakan Allah dan semua itu tidak kekal. Kecintaan dan kecenderungan yang paling baik ialah mencari ridha Allah agar kelak dapat memperoleh tempat yang paling baik dan penuh kebahagiaan yaitu surga. Firman Allah Swt :

Wa bassyiril ladzina amanu wa ‘amilus shalihati anna lahum jannatin tajri min tahtihal anharu kullama ruziqu minha min tsamaratin rizqan qalu hadzal ladzina ruziqna min qablu wa’tu bihi mutasyabiha. Wa lahum fiha azwajun muthaharatun wa hum fiha khalidun.

Artinya, “dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga, yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga itu mereka mengatakan; ‘inilah yang pernah diberikan kepada kami dulu’. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka ada isteri-isteri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 25)

Semoga Allah memberikan berkah dan ridho-Nya kepada kita semua. Amin.

Drs. H. Ibrahim Arsyad

sumber :
http://masjidagungplg.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=192

Tujuan Hidup Seorang Muslim

Setiap orang yang mendalami Al-Qur'an dan mempelajari Sunnah tentu mengetahui bahwa puncak tujuan dan sasaran yang dilakukan orang Muslim yang diwujudkan pada dirinya dan di antara manusia ialah ibadah kepada Allah semata.

Tidak ada jalan untuk membebaskan ibadah ini dari setiap aib yang mengotorinya kecuali dengan mengetahui benar-benar tauhidullah.

Da'i yang menyadari hal ini tentu akan menghadapi kesulitan yang besar dalam mengaplikasikannya. Tetapi toh kesulitan ini tidak membuatnya surut ke belakang. Sebab setiap saat dakwahnya menyerupai perkataan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

"Artinya : Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian yang paling menyerupai (mereka) lalu yang paling menyerupainya lagi." [1]

Bagaimana tidak, sedang dia selalu meniti jalan beliau, menyerupai sirah-nya dan mengikuti jalannya? Al-Amtsalu tsumma al-amtsalu adalah orang-orang shalih yang mengikuti jalan para nabi dalam berdakwah keapda Allah, menyeru kepada tauhidullah seperti yang mereka lakukan, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan menyingkirkan syirik. Mereka mengahadapi gangguan dan cobaan seperti yang dihadapi para panutannya, yaitu nabi-nabi.

Oleh karena itu banyak para da'i yang menjauhi jalan yang sulit dan penuh rintangan ini. Sebab seoarang da'i yang meniti jalan itu akan menghadapi ayah, ibu, saudara, rekan-rekan, orang-orang yang dicintainya, dan bahkan dia harus menghadapi masyarakat yang merintangi, memusuhi dan menyakitinya.

Lebih baik mereka menyingkir ke sisi-sisi Islam yang sudah mapan, yang tidak dimusuhi orang yang beriman kepada Allah. Di dalam sisi-sisi ini mereka tidak akan menghadapi kesulitan, kekerasan, ejekan, dan gangguan, khususnya di berbagai masyarakat Islam. Biasanya mayoritas umat justru mau memandang da'i seperti ini, menyanjung dan memuliakannya dan tidak mengejek atau pun mengganggunya, kecuali jika mereka menentang para penguasa dan mengancam kedudukan mereka. Kalau seperti ini keadaannya, tentu para penguasa ini akan menumpas mereka dengan kekerasan, sebagaiman menumpas partai politik yang hendak mengincar kursi kekuasaannya. Sebab, para penguasa dalam masalah ini tidak bisa diajak kompromi, baik mereka itu kerabat atau pun rekan, baik orang Muslim maupun orang kafir.

Bagaimanapun juga kami merasa perlu mengatakan para da'i, bahwa meskipun mereka tetap harus menyaringkan suaranya atas nama Islam, toh mereka tetap harus mengasihi dirinya sendiri. Karena mereka keluar dari manhaj Allah dan jalan-Nya yang lurus dan jelas, yang pernah dilalui para nabi dan para pengikutnya dalam berdakwah kepada tauhidullah dan memurnikan agama hanya bagi Allah semata. Apa pun usaha yang mereka lakukan untuk kepentingan dakwah, toh mereka tetap harus memikirkan sarananya sebelum tujuannya. Sebab berapa banyak sarana yang remeh justru membahayakan tujuan yang hendak dicapai dan justru menjadi pertimbangan yang besar.

Bahkan banyak da'i yang memaksakan cara yang mereka ciptakan sendiri dan tidak mau mengikuti manhaj para nabi dalam berdakwah kepada tauhidullah di bawah slogan-slogan yang serba gemerlap, tapi akhirnya hanya memperdayai orang-orang bodoh, sehingga mereka menganggapnya sebagai manhaj para nabi.

Karena Islam mempunyai beberapa cabang dan pembagian, maka harus ada penitikberatan pada masalah yang paling penting, lalu disusul dengan yang penting lainnya. Pertama kali dakwah harus diprioritaskan pada penataan akidah. Caranya menyuruh memurnikan ibadah bagi Allah semata dan melarang menyekutukan sesuatu kepada-Nya. Kemudian perintah mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, seperti cara yang dilakukan semua para nabi. Firman Allah.

"Artinya : Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja) dan juahilah thaghut'." [An-Nahl : 36]

"Artinya : Dan, Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Ilah selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." [Al-Anbiya' : 25]

Dalam sirah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan cara yang diterapkan beliau terkandung keteladanan yang baik serta manhaj yang paling sempurna. Hingga beberapa tahun beliau hanya menyeru manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum menyuruh mendirikan sholat, melaksanakan zakat, puasa, haji, dan sebelum melarang mereka melakukan riba, zina, pencurian dan membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.

Jadi dasar yang paling pokok adalah mewujudkan peribadatan bagi Allah semata, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dan, AKu tidak menciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku." [Adz-Dzariat : 56]

Hal ini tidak bisa terjadi kecuali dengan mengenal tauhidullah, baik secara ilmu maupun praktik, realitas sehari-hari maupun jihad.

Anda bisa melihat berapa banyak para da'i Muslim dan jama'ah-jama'ah Islam yang menghabiskan umurnya dan menghabiskan energinya untuk menegakkan hukum Islam atau menuntut berdirinya negara Islam. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa tegaknya hukum Islam tidak akan terwujud dengan cara seperti itu. Tujuan itu tidak akan terealisir kecuali dengan suatu manhaj yang dilakukan secara perlahan-perlahan, memerlukan waktu yang panjang, dilandaskan kepada kaidah yang jelas, harus dimulai dari penanaman akidah dan menghidupkan pendidikan Islam serta menekankan masalah akhlak. Jalan yang perlahan-lahan dan panjang ini merupakan jalan yang paling dekat dan paling cepat yang bisa ditempuh. Sebab untuk bisa mengaplikasikan tatanan Islam dan hukum syariat Allah bukan merupakan tujuan yang bisa dilakukan secara spontan dan tergesa-gesa. Karena hal ini tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan merombak masyarakat, atau adanya sekumpulan orang yang berkedudukan dan berbobot di tengah kehidupan manusia secara umum yang siap memberikan pemahaman akidah Islam yang benar, baru kemudian melangkah kepada pembentukan tatanan Islam, meskipun harus menghabiskan waktu yang lama[2]

Kesimpulannya, menerapkan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, mendirikan pemerintahan Islam, menjauhkan hal-hal yang diharamkan dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan, semuanya merupakan penyempurna tauhid dan penyertanya. Lalu bagaimana mungkin penyertanya mendapat prioritas utama, sedangkan pangkalnya diabaikan?

Kami melihat sepak terjang berbagai jama'ah yang menyalahi manhaj para rasul dalam berdakwah kepada Allah ini terjadi karena ketidaktahuan mereka terhadap manhaj ini. Padahal orang yang bodoh tidak pantas menjadi da'i. Sebab syarat terpenting dalam aktivitas dakwah adalah ilmu, sebagaimana yang difirmankan Allah tentang Nabi-Nya.

"Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik." [Yusuf : 108]

Jadi, keahlian seorang da'i yang paling penting adalah ilmu pengetahuan.

Kemudian kami melihat jama'ah-jama'ah yang menisbatkan diri kepada dakwah ini saling berbeda-beda. Setiap jama'ah menciptakan pola yang tidak sama dengan jama'ah lain dan meniti jalannya sendiri. Ini merupakan akibat dari tindakan yang menyalahi manhaj Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Karena manhaj beliau hanya satu, tidak terbagi-bagi dan tidak saling berselisihan. Firman Allah.

"Artinya : Katakanlah: 'Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku."

Orang-orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berada di atas jalan yang satu ini dan tidak saling berselisih. Tapi orang-orang yang tidak mengikuti beliau tentu saling berselisih. Firman Allah.

"Artinya : Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya." [Al-An'am : 153]

Jadi tauhid merupakan titik tolak dakwah kepada Allah dan tujuannya. Tidak ada gunanya dakwah kepada Allah kecuali dengan tauhid ini, meskipun ia ditempeli dengan merk Islam dan dinisbatkan kepadanya. Sebab semua rasul, terutama dakwah penutup mereka, Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimulai dari tauhidullah dan sekaligus itu pula tujuan akhirnya. Setiap rasul pasti mengatakan untuk pertama kalinya seperti yang dijelaskan Allah.

"Artinya : Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah selain daripada-Nya." [Al-A'raaf :59 ][3]

Ini merupakan tujuan hidup orang Muslim yang paling tinggi, yang untuk itulah dia menghabiskan umurnya sambil mengusahakannya di tengah kehidupan manusia dan menguatkannya di antara mereka.

Khaliq yang telah menyediakan apa-apa yang menunjang kemaslahatan kehidupan dunianya, Dia pula yang menetapkan syariat agama bagi mereka dan menjaga kelangsungannya. Allah selalu menjaga Islam, karena Islam itulah tujuan dari diciptakannya dunia bagi manusia, lalu mereka diberi kewajiban untuk beribadah dan menguatkan tauhid, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Ta'ala.

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary

[Disalin dari kitab Ad-Da'wah ilallah Bainat-tajammu'i-hizby Wat-Ta'awunisy-Syar'y, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary. Edisi Indonesia: Menggugat Keberadaan Jama'ah-Jama'ah Islam. Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit, Pustaka Al-Kautsar. Cet. Pertama, September 1994; hal.38-44]
_________
FooteNote
[1]. Diriwayatkan At-Tirmidzy, hadits nomor 2400, Ibnu Majah, hadits nomer 4023, Ahmad 1/172, dari Sa'id bin Abi Waqqash, dengan sanad hasan.
[2]. Limadza a'damuni?
[3]. Mukaddimah Manhajul Anbiya'

sumber :
http://www.almanhaj.or.id/content/1923/slash/0