Minggu, 24 April 2011
Ke-(tidak)-percayaan antara Jakarta dan Papua
Ini adalah tulisan terbaru dari pak Neles Tebay.
Yang bagi saya sendiri, walaupun bukan orang asli Papua (pendatang), tetapi notabene saya tinggal dan hidup di Papua kurang lebih sudah 5 tahun terakhir ini.
Tulisan ini sangat positif dan bisa memotivasi orang Papua. Motivasi dalam hal positif tentunya.
Demi kemajuan Papua kedepannya.
Seperti yang diharapkan oleh penulis (Neles Tebay).
Tulisan ini saya sadur tanpa mengurangi sedikit pun isi dan maksud dari tulisan ini dari Harian Kompas yang terbit pada hari Sabtu tanggal 9 April 2011. Yang kebetulan orang rumah beli Koran itu pada hari itu juga dan saya baru baca keesokan harinya. Biasalah nunggu selesai dulu yang beli baru giliran saya baca. Hehe
Kenapa saya baru posting di blog hari ini…???
Hehehe
Kesibukan pekerjaan saya sendiri yang membuat saya lupa untuk mempostingnya, kebetulan hari ini ingat, ya langsung aja saya posting sekarang. Hehe
Ok lah klo begitu…
Cekidot dah…
Ke-(tidak)-percayaan antara Jakarta dan Papua
Akhir Maret lalu ratusan orang Papua berdemonstrasi di halaman Kantor Gubernur Papua. Aspirasi yang mereka usung: menolak kebijakan otonomi khusus Papua yang diberlakukan sejak tahun 2001.
Aksi ini hanyalah satu indikasi adanya masalah yang menuntut penyelesaian secara menyeluruh. Masalah mendasar yang belum dituntaskan sejak Papua diintegrasikan ke dalam Republik Indonesia tahun 1963 adalah adanya ketidakpercayaan antara pemerintah pusat dan orang asli Papua. Penolakan kebijakan otonomi khusus (otsus) merupakan salah satu ungkapan ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah pusat.
Masalah ketidakpercayaan ini sudah lama dan masih mengganggu pembangunan di Papua. Maka, membangun kepercayaan antara pemerintah dan orang Papua menjadi kebutuhan mendasar dan mendesak.
Pemerintah menipu
Orang Papua melihat pemerintah sebagai pembohong. Pemerintah mengatakan suatu hal, tetapi melaksanakan hal lain. Akibatnya, orang Papua tak percaya kepada pemerintah yang dinilai melakukan pembohongan.
Pemerintah menetapkan banyak peraturan perundang-undangan khusus untuk Papua, mengeluarkan berbagai macam kebijakan pembangunan, dan mengumbar janji-janji pembangunan. Akan tetapi, orang Papua melihat bahwa pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan semuanya.
Ketidakkonsistenan pemerintah ini tampak dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus untuk Provinsi Papua. Pemerintah, misalnya, menetapkan kebijakan pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi melalui Instruksi Presiden No 1/2003 tanpa berkonsultasi dengan pemerintah daerah dan rakyat Papua. Pemerintah juga memaksakan pembentukan Provinsi Papua Barat dengan mengubah UU Otsus Papua tanpa mengindahkan Pasal 76 yang memberikan kewenangan perubahan UU itu kepada rakyat Papua.
Pemerintah menolak usulan orang Papua soal simbol kultural melalui Peraturan Pemerintah No 77/2007 tentang larangan bendera separatis dijadikan bendera kultural. Pemerintah juga memberlakukan dua UU pada saat bersamaan, yakni UU No 21/2001 tentang Otsus Papua dan UU No 32/2004.
Penolakan permohonan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi tentang perubahan pemilih gubernur dan wakil gubernur Papua dilihat sebagai contoh lain dari ketidakkonsistenan pemerintah pada UU Otsus Papua. Seharusnya, sesuai UU Otsus Papua, gubernur dan wakil gubernur dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua, tetapi pemerintah menetapkan bahwa pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Orang Papua yakin ketidakseriusan pemerintah ini akan terus berlangsung karena pemerintah belum memperlihatkan niatnya mengevaluasi implementasi Otsus Papua. Kalau UU saja tak dilaksanakan secara konsisten, orang Papua percaya bahwa segala peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak akan diimplementasikan oleh pemerintah. Akibatnya, ketidakpercayaan orang Papua kepada pemerintah semakin meningkat. Segala niat baik pemerintah untuk membangun orang Papua akan ditolak sebelum jadi suatu pembohongan baru.
Orang Papua dicurigai
Di lain pihak pemerintah juga tidak memercayai orang Papua. Hal ini tampak dalam wujud kecurigaan pemerintah yang berlebihan terhadap orang Papua.
Sekalipun sudah 48 tahun bergabung dalam Republik Indonesia, pemerintah terkesan memperlakukan orang Papua bukan sebagai warga negara yang sepatutnya dilindungi keberadaannya, tetapi separatis yang mesti diwaspai demi tegaknya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, pemerintah membiayai TNI untuk melakukan serangkaian operasi militer guna membasmi separatis yang notabene adalah orang Papua.
Selain operasi militer, pemerintah juga menerapkan stigma separatis. Stigma ini menghambat orang Papua mengembangkan karier dalam politik dan pemerintahan. Para pejabat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua, serta tokoh-tokoh yang secara kritis menyuarakan keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang Papua selalu dicurigai sebagai separatis.
Kecurigaan semacam itu masih berlaku dan dirasakan orang Papua hingga kini. Akibatnya, gagasan sebagus apa pun tentang pembangunan yang diajukan orang Papua banyak kali ditolak pemerintah.
Dialog Jakarta-Papua
Ketidakpercayaan ini mengakibatkan macetnya komunikasi antara pemerintah dan orang Papua. Pemerintah dan orang Papua masing-masing berbicara tentang yang lain, tetapi tidak pernah berbicara satu sama lain. Jurang pemisah ini semakin hari semakin lebar.
Maka, masalah ketidakpercayaan mesti diatasi bersama oleh pemerintah dan orang Papua melalui dialog damai. Oleh sebab itu, dialog antara pemerintah pusat (Jakarta) dan orang Papua dapat dijadikan sarana utama membangun kepercayaan ini.
Baik pemerintah maupun orang Papua perlu memilih wakil-wakilnya agar dapat mempersiapkan bersama prinsip-prinsip dasar, tahapan, mekanisme, agenda, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dialog Jakarta-Papua. Kiranya dialog Jakarta-Papua ini bisa dimulai dalam waktu dekat. Semoga! (Sumber: Kompas, 9 April 2011)
NELES TEBAY
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur
Abepura, Papua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar